Bagikan:

JAKARTA - Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) buka suara terkait wacana pemangkasan produksi bijih nikel tahun ini.

Sekretaris Umum APNI Meidy Katrin Lengkey mengatakan, hingga saat ini, tercatat Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) pertambangan nikel telah mencapai 298 juta ton. Dengan demikian, banyak perusahaan yang telah memperoleh izin menambang bijih nikel.

Apalagi dalam kebijakan Kementerian ESDM telah mengeluarkan mekanisme persetujuan RKAB untuk tahap operasi produksi telah diberikan untuk jangka waktu 3 tahun.

"Permasalahannya, kami para penambang agak diuntungkan karena persetujuan RKAB 3 tahun sudah disetujui sejak 2024. Artinya semua penambang indonesia sejak 2024 sudah ajukan RKAB per 3 tahun. Kan tidak mungkin tarik kembali kan? Kan sudah disetujui. Bisa jadi chaos," ujar Meidy dalam Mining Zone, Selasa, 21 Januari.

Apalagi, kata dia, angka RKAB yang telah terbit di tahun 2025 hampir mencapai 300 juta. Untuk itu ia menilai langkah pemangkasan tidak mungkin dilakukan mengingat banyak perusahaan nikel yang telah mulai memproduksi bijih nikel.

"Approval sudah dapat. Sudah jalan (produksinya). Apa iya mau ditarik kembali? Kan tidak mungin. Perusahaan akan ada penolakan," sambung Meidy.

Bahkan kata dia, perusahaan memiliki opsi revisi target RKAB jika produksi bijih nikel telah mencapai target yang telah ditetapkan. Ia mencontoh, jika uatu perusahaan mendapat izin RKAB untuk memproduksi 10 juta ton di tahun 2025, sementara itu selama proses produksi tidak da kendala dari sisi cuaca dan target tercapai pada bulan Agustus, maka perusahaan tersebut dapat mengajukan revisi.

"Sudah ada aturannya. Dan sampai saat ini belum diganti aturan itu. Kecuali sudah ada aturan pengganti," kata dia.

Sebelumnya Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengatakan, pihaknya tengah mengkaji total kebutuhan nikel dalam negeri.

Dengan evaluasi kebutuhan ini, kata dia, pemerintah dapat mengetahui dengan pasti berapa banyak RKAB untuk komoditas nikel yang akan disetujui.

"Saya sama Dirjen Minerba dan tim dari kementerian lagi mengkaji berapa total kebutuhan nikel. Dari berapa total kebutuhan nikel Kemudian kita bisa lihat RKAB-nya berapa," ujar Bahlil yang dikutip Senin, 6 Januari.

Bahlil menambahkan, kajian ini dilakukan agar keseimbangan antara produksi dan kebutuhan industri dapat terjaga sehingga harga nikel stabil.

Dengan produksi nikel yang berlebihan, kata dia, dapat mengganggu harga nikel di pasar internasional.

"Jangan sampai RKAB-nya diberikan lebih banyak, tetapi penyerapan di industri tidak sesuai," sambung Bahlil.